Sunday, November 30, 2008

SKRIPSI

Pajak merupakan salah satu sumber yang cukup penting bagi penerimaan negara guna pembiayaan pembangunan di akhir-akhir ini. Kontribusi pajak terhadap pembangunan telah menyamai atau bahkan lebih besar dari sektor minyak dan gas sebagai sumber dana pembangunan. Penelitian ini merupakan replikasi dari Heny (2003) yang berjudul “Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Menentukan Cara Perhitungan PPh Terutang di Surakarta” yang dilakukan pada tahun 2003. Dalam penelitian ini obyek penelitian adalah wajib pajak orang pribadi di Jakarta Utara.
Tujuan studi dalam penelitian ini adalah pengujian hipotesis dengan menggunakan analisis regresi linier berganda. Penelitian ini ingin membuktikan dan menunjukkan pengaruh perhitungan pajak penghasilan sesuai Undang-undang No. 17 Tahun 2000. Dalam penelitian ini yang ingin diteliti adalah faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan penghitungan PPh menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Netto (NPPN).
Hasil penelitian ini adalah: (1) Hasil analisis regresi menunjukkan harga R sebesar 0,173 menunjukkan bahwa korelasi antara perhitungan PPh dengan jenis usaha cukup kuat dan koefisien determinasi sebesar 0,030 atau angka adjusted R square adalah 0,010, (2) Nilai R sebesar 0,537 menunjukkan korelasi antara perhitungan PPh dengan peredaran bruto cukup kuat dan koefisien determinasi sebesar 0,289 atau angka adjusted R square adalah 0,281, (3) Hasil regresi menunjukkan nilai R sebesar 0,310 berarti korelasi antara perhitungan PPh dengan pendidikan terakhir/tahun sukses cukup kuat dan koefisien determinasi adalah 0,096 atau angka adjusted R square adalah 0,087, (4) Persamaan regresi: Y = 5,130 + 0,799P.Bruto + 0,235 Pend - 0,415Home industry + 0,120 Profesi, dengan variabel jenis usaha dagang sebagai benchmark (pembanding), (5) Hasil uji t regresi variabel dummy diperoleh nilai signifikansi sebesar (Dagang = 0,750, Home industri = 0,098, Profesi = 0,388) lebih dari 0,05, sehingga dapat disimpulkan bahwa seluruh variabel dummy tidak mempengaruhi penentuan perhitungan pajak penghasilan, (6) Hasil uji t regresi terhadap masing-masing variabel menunjukkan variabel peredaran bruto selama satu tahun mempengaruhi penentuan perhitungan pajak penghasilan, variabel tingkat pendidikan mempengaruhi penentuan perhitungan pajak penghasilan, (7) Hasil Uji F disimpulkan ada pengaruh jenis usaha, jumlah peredaran bruto, dan tingkat pendidikan (tahun sukses) terhadap penentuan perhitungan pajak penghasilan.
Kesimpulan dari penelitian ini menunjukkan bahwa faktor peredaran bruto dan pendidikan terakhir/tahun sukses mempengaruhi penentuan perhitungan pajak, sedangkan faktor jenis usaha tidak mempengaruhi penentuan perhitungan pajak. Penelitian ini juga menyimpulkan bahwa faktor jenis usaha, pendidikan terakhir/tahun sukses dan jumlah peredaran bruto memiliki pengaruh secara bersama-sama terhadap penentuan perhitungan pajak penghasilan wajib pajak orang pribadi di Jakarta Utara.

BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang Masalah
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merupakan negara hukum yang bertujuan untuk mencapai kesejahteraan bagi rakyatnya sehingga terbentuk suatu masyarakat yang adil dan makmur, tentram, aman yang merata bagi seluruh bangsa Indonesia. Negara juga mempunyai beberapa kewajiban yang paling utama yaitu melindungi rakyat dengan segala kepentingannya dan menyediakan sarana serta fasilitas yang diperlukan untuk memperlancar pelaksanaan pemerintahan dan memberikan pelayanan kepada rakyat, mempertahankan hukum, memelihara ketertiban dan keamanan negara. Untuk dapat melaksanakan kewajiban-kewajiban tersebut negara membutuhkan sumber-sumber penghasilan seperti penghasilan perusahaan-perusahaan yang didirikan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah, penghasilan dari barang-barang milik negara, penghasilan dari denda dan sitaan barang karena suatu pelanggaran, hibah dan sumbangan dari negara lain atau organisasi internasional maupun penghasilan dari hak-hak waris dan penerimaan dari berbagai macam pajak, retribusi, bea, dan cukai serta bentuk-bentuk pungutan lainnya. Dari sumber-sumber penerimaan negara tersebut, pajak merupakan sumber yang paling dominan karena hal tersebut terbukti dari angka yang terdapat pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dari tahun ke tahun yang menunjukkan bahwa penerimaan pajak terus mengalami peningkatan.
Sebagaimana diketahui bahwa dalam Anggaran Pendapatan Negara yang dibuat oleh Pemerintah terdapat tiga sumber penerimaan yang menjadi pokok andalan, yaitu:
a. Penerimaan dari sektor pajak.
b. Penerimaan dari sektor migas (minyak dan gas bumi), dan
c. Penerimaan dari sektor bukan pajak.
Dari ketiga sumber penerimaan di atas, penerimaan dari sektor pajak ternyata merupakan salah satu sumber penerimaan terbesar negara. Dari tahun ke tahun kita dapat melihat bahwa penerimaan pajak terus meningkat dan memberi andil besar dalam penerimaan negara. Penerimaan dari sektor pajak selalu dikatakan merupakan primadona dalam membiayai pembangunan nasional. Sedangkan penerimaan dari migas, yang dahulu selalu menjadi andalan penerimaan negara, sekarang migas sudah tidak bisa diharapkan sebagai sumber penerimaan keuangan negara yang terus menerus karena sifatnya yang tidak dapat diperbaharui (non renewable resources). Penerimaan migas pada suatu waktu akan habis sedangkan dari pajak selalu dapat diperbaharui sesuai dengan perkembangan ekonomi di masyarakat itu sendiri.
Pajak merupakan salah satu sumber yang cukup penting bagi penerimaan negara guna pembiayaan pembangunan di akhir-akhir ini. Kontribusi pajak terhadap pembangunan telah menyamai atau bahkan lebih besar dari sektor minyak dan gas sebagai sumber dana pembangunan. Saat ini Indonesia mulai memprioritaskan sektor pajak sebagai sumber pendanaan pembangunan di berbagai bidang. Peningkatan penerimaan pajak tersebut dimulai pada tahun fiskal 1984, pemerintah memberitahukan reformasi perpajakan dengan menerapkan sistem self assessment dalam pemungutan pajak (Priantara, 2000). Penerimaan sektor pajak mengalami peningkatan volume dari tahun ke tahun sejak pembaharuan di bidang perpajakan, yang dikenal dengan reformasi pajak yang dilaksanakan tahun 1983. Dengan reformasi pajak nasional sistem pajak yang berlaku saat ini akan disederhanakan (Suandy, 2000) Penyederhanaan tersebut mencakup jenis pajak, tarif pajak dan cara pembayaran pajak. Setelah reformasi ini sistem pembayaran pajak akan makin adil dan wajar, sedangkan jumlah wajib pajak akan makin luas. Selanjutnya reformasi pajak akan dilakukan terhadap aparat pajak, baik yang menyangkut prosedur, tata kerja, disiplin maupun mental. Reformasi perpajakan tidak berhenti begitu saja, tetapi harus dilakukan perubahan dan penyempurnaan sesuai dengan tuntutan sistem perekonomian.
Pajak juga merupakan suatu fenomena yang selalu berkembang di masyarakat Indonesia karena diiringi dengan perkembangan perekonomian negara Indonesia. Dalam era globalisasi atau era persaingan bebas ini, cepat atau lambat tidak dapat ditolak dan harus menerima keberadaan globalisasi ekonomi serta mengambil kesempatan yang dapat timbul akibat adanya perubahan ekonomi internasional. Salah satu perangkat pendukung yang menunjang agar tercapai keberhasilan ekonomi dalam meraih peluang adalah hukum pajak atau yang sering disebut dengan hukum fiskal, yaitu keseluruhan dari peraturan-peraturan yang meliputi kewenangan pemerintah dalam memungut pajak. Untuk menjadikan pajak sumber penerimaan negara atau pembiayaan pembangunan yang utama, bukan merupakan hal yang mudah karena banyak kendala-kendala yang dihadapi, baik yang timbul dari masyarakat sebagai wajib pajak maupun dari pihak otoritas pajak serta peraturan perundang-undangan.
Pada masa sebelum Peraturan Perpajakan tahun 1983 diberlakukan, diterapkan Official Assessment System dimana dalam sistem pemungutan pajak ini memberi wewenang kepada pemungut pajak (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang harus dibayar (pajak yang terutang) oleh seseorang. Dengan sistem ini wajib pajak bersifat pasif dan menunggu dikeluarkannya suatu ketetapan pajak oleh fiskus. Besarnya utang pajak seseorang baru diketahui setelah adanya surat ketetapan pajak. Tetapi setelah tahun 1983, berdasarkan Undang-undang Perpajakan Tahun 1983 dan berlalu di Indonesia sejak tahun 1984 sampai sekarang diterapkan Self Assessment System, dimana wajib pajak diberi wewenang penuh untuk menghitung, memperhitungkan, menyetorkan, dan melaporkan sendiri besarnya utang pajak. Dalam sistem ini wajib pajak aktif sedangkan fiskus tidak turut campur dalam penentuan besarnya pajak yang terutang seseorang, kecuali wajib pajak melanggar ketentuan yang berlaku.
Tiga prinsip yang mendasari sistem dan mekanisme pemungutan pajak sebagaimana dalam Penjelasan Umum Undang-undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2000 tentang Perubahan kedua atas Undang-undang No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan adalah:
a. Pemungutan pajak merupakan perwujudan pengabdian dan peran serta wajib pajak untuk secara langsung dan bersama-sama melakukan kewajiban perpajakan yang diperlakukan untuk pembiayaan negara.
b. Tanggung jawab atas kewajiban pelaksanaan pemungutan pajak sebagai pencerminan kewajiban di bidang perpajakan berada pada anggota masyarakat wajib pajak sendiri. Pemerintah dalam hal ini aparat perpajakan, sesuai dengan fungsinya berkewajiban melakukan pembinaan, pelayanan dan pengawasan terhadap pemenuhan kewajiban perpajakan berdasarkan ketentuan yang digariskan dalam peraturan perundang-undangan perpajakan.
c. Anggota masyarakat wajib pajak diberi kepercayaan untuk dapat melaksanakan kegotong royongan nasional melalui sistem menghitung, memperhitungkan, membayar dan melaporkan sendiri pajak yang terutang (self assessment) sehingga melalui sistem ini administrasi perpajakan diharapkan dapat dilaksanakan dengan rapi, terkendali, sederhana, dan mudah untuk dipahami oleh anggota masyarakat wajib pajak.
Dengan berpegang teguh pada prinsip kepastian hukum, keadilan dan kesederhanaan, maka arah dan tujuan penyempurnaan Undang-Undang Perpajakan ini mengacu pada kebijaksanaan. Salah satu pajak yang dibebankan kepada wajib pajak baik orang pribadi maupun badan yang menjalankan suatu usaha adalah Pajak Penghasilan (PPh). Pajak penghasilan ini diatur berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 tahun 1983 yang mengalami perubahan menjadi Undang-Undang Nomor 17 tahun 2000 dan diberlakukan per 1 Januari 2001. Dengan adanya undang-undang tersebut, maka setiap wajib pajak yang menjalankan suatu usaha wajib untuk menghitung pajak penghasilannya. Untuk menghitung besarnya pajak penghasilan yang terutang, dalam hal ini wajib pajak orang pribadi diperkenankan untuk menggunakan dasar pembukuan atau menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto (NPPN) yang telah ditentukan berdasarkan undang-undang. Kewajiban menyelenggarakan pembukuan pada dasarnya telah diatur dalam pasal 28 Undang-Undang No. 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum Tata Cara Perpajakan. Namun, ketentuan pembukuan dimaksud hanya diberikan secara umum. Oleh karena itu, dalam rangka memenuhi kewajiban perpajakan perlu ada usaha sendiri dari wajib pajak orang pribadi untuk memahami seluk beluk pembukuan. Pada umumnya pembukuan dijadikan titik tolak untuk menghitung penghasilan kena pajak. Namun disadari pula bahwa tidak semua wajib pajak orang pribadi mampu menyelenggarakan pembukuan, oleh karena itu diperkenankan menerapkan norma penghitungan yang merupakan suatu pedoman tentang cara untuk menentukan penghasilan neto dan penghasilan pajak (ps. 14 UU PPh 1984). Wujud dari norma penghitungan adalah merupakan suatu prosentase atau angka perbandingan lainnya yang dipergunakan untuk penghitungan penghasilan neto.
Dalam penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Ekorini (2001), berusaha untuk memperoleh bukti secara empiris apakah ada perbedaan besarnya pajak penghasilan yang terutang apabila dalam perhitungannya wajib pajak orang pribadi menggunakan Norma Penghitungan atau dasar pembukuan, serta kendala apa saja yang akan dihadapi oleh wajib pajak orang pribadi jika dalam perhitungannya wajib pajak tersebut menggunakan dasar pembukuan dan alasan wajib pajak orang pribadi menggunakan norma penghitungan dalam membayar pajak penghasilan yang terutang. Dari penelitian tersebut, maka dapat diperoleh pemahaman bahwa penggunaan norma penghitungan ataupun pembukuan masing-masing mempunyai keunggulan dan kelemahan tersendiri baik bagi fiskus maupun wajib pajak itu sendiri. Dan diperoleh bukti bahwa pajak penghasilan yang harus dibayarkan kepada pemerintah apabila menggunakan Norma Penghitungan akan lebih besar dibandingkan dengan menggunakan pembukuan. Hal ini disebabkan prosentase besarnya norma penghitungan ditentukan oleh pemerintah melalui Menteri Keuangan dan besarnya prosentase norma penghitungan dari tahun ke tahun seringkali berubah-ubah dan cenderung mengalami kenaikan. Ada beberapa kendala yang dihadapi oleh wajib pajak orang pribadi apabila mereka menggunakan dasar pembukuan dalam menentukan penghitungan pajak penghasilannya, yaitu: tidak memahami tata cara pembukuan yang baik; jenis usaha relatif masih kecil karena dapat menggunakan dasar pembukuan maka akan menambah pengeluaran biaya untuk tenaga kerja pembukuan; dan adanya pemikiran bahwa pembukuan itu merepotkan dan tanpa pembukuanpun usaha masih dapat berjalan dengan baik, maka bagi mereka penggunaan pembukuan tersebut tidak ada manfaatnya.
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Heny (2003) ingin mengetahui pengaruh dari faktor jenis usaha, jumlah peredaran bruto selama satu tahun, dan tingkat pendidikan (tahun sukses) terhadap keputusan wajib pajak orang pribadi dalam menentukan cara perhitungan pajak penghasilan, serta mengetahui apakah ada perbedaan mengenai besarnya pajak penghasilan yang harus dibayar oleh wajib pajak pribadi apabila pajak penghasilan tersebut dihitung menggunakan dasar pembukuan atau norma penghitungan berdasarkan jumlah peredaran bruto selama satu tahun. Sedangkan dalam penelitian ini peneliti akan melakukan penelitian di lokasi yang berbeda yaitu di Jakarta Utara, dengan tahun pengamatan pada tahun 2004. Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka dalam penelitian ini penulis memilih judul “ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI WAJIB PAJAK TERHADAP PENENTUAN CARA PERHITUNGAN PPH TERUTANG PADA WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI DI JAKARTA UTARA”.

B. Perumusan Masalah
Pajak Penghasilan adalah pajak langsung yang dikenakan kepada badan atau orang pada tingkat penghasilan tertentu. Semakin tinggi penghasilan rata-rata masyarakat dan industri suatu bangsa, berarti semakin tinggi harapan pemerintah untuk memperoleh pemasukan dari sektor PPh. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi keputusan wajib pajak orang pribadi dalam menentukan salah satu cara perhitungan pajak penghasilan neto (NPPN) serta keuntungan apa saja yang akan diperoleh wajib pajak orang pribadi dalam penggunaan salah satu cara perhitungan pajak penghasilan terutang tersebut.
Berdasarkan latar belakang di atas dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: “Adakah pengaruh dari faktor jenis usaha, jumlah peredaran bruto selama satu tahun dan tingkat pendidikan (tahun sukses) terhadap penerapan penghitungan PPh menggunakan norma penghitungan penghasilan neto (NPPN) pada wajib pajak orang pribadi di Jakarta Utara”.

C. Tujuan Penelitian
Tujuan diadakannya penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh faktor jenis usaha, jumlah peredaran bruto selama satu tahun dan tingkat pendidikan (tahun sukses) terhadap penerapan penghitungan PPhb menggunakan norma penghitungan penghasilan neto (NPPN) pada wajib pajak orang pribadi di Jakarta Utara.

D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai :
1. Memberikan informasi secara empiris dan masukan kepada wajib pajak orang pribadi dalam hal penentuan cara perhitungan pajak penghasilan berdasarkan pengaruh dari faktor-faktor seperti jenis usaha, jumlah peredaran bruto, dan tingkat pendidikan (tahun sukses).
2. Memberikan referensi tambahan, bahan literatur dan acuan untuk penelitian lebih lanjut mengenai metode perhitungan yang akan digunakan oleh wajib pajak orang pribadi di Jakarta Utara dalam menghitung pajak penghasilan yang terutang.

E. Batasan Penelitian
Mengingat keterbatasan waktu, fasilitas, tenaga, serta biaya yang dikeluarkan, maka dalam penelitian ini penulis hanya terfokus untuk memilih wajib pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau profesi di wilayah Jakarta Utara. Sedangkan masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini akan penulis batasi, yaitu pada pengaruh dari faktor jenis usaha, jumlah peredaran bruto selama satu tahun, dan tingkat pendidikan (tahun sukses) terhadap penerapan perhitungan PPh menggunakan norma penghitungan penghasilan neto (NPPN) Dalam penelitian ini, penulis juga berusaha untuk mengetahui pendapat wajib pajak orang pribadi terhadap penggunaan norma penghitungan penghasilan neto dalam menentukan besarnya pajak penghasilan. Hal tersebut dapat diperoleh penulis melalui data-data yang telah dikumpulkan dari wawancara langsung terhadap responden.

F. Sistematika Penulisan
Dalam penulisan skripsi penelitian ini, sistematika penulisan terdiri dari lima bab, dan masing-masing bab akan diuraikan mengenai hal-hal sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
B. Perumusan Masalah
C. Tujuan Penelitian
D. Manfaat Penelitian
E. Batasan Penelitian
F. Sistematika Penulisan
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Landasan Teori
B. Sistem Perpajakan di Indonesia
C. Pajak Penghasilan
D. Metode Perhitungan Pajak Penghasilan
E. Kerangka Teoritis
F. Hipotesis
BAB III METODE PENELITIAN
A. Desain Penelitian
B. Populasi, Sampel, dan Metode Pengambilan Sampel
C. Identifikasi Variabel dan Pengukurannya
D. Instrumen Penelitian
E. Sumber Data
F. Metode Pengumpulan Data
G. Metode Analisis Data
BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN
A. Pelaksanaan Penelitian dan Hasil Pengumpulan Data
B. Analisis Data Penunjang
C. Hasil dan Analisis Data
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Hasil Penelitian
B. Keterbatasan dan Implementasi
C. Saran-saran

Saturday, November 29, 2008

Pengawet dalam Produk Pangan

Definisi Bahan Tambahan Pangan (BTP) Pengawet

Yang dimaksud BTP Pengawet adalah bahan tambahan pangan yang dapat mencegah atau menghambat fermentasi, pengasaman atau penguraian dan perusakan lainnya terhadap pangan yang disebabkan oleh mikroorganisme. Kerusakan tersebut dapat disebabkan oleh fungi, bakteria dan mikroba lainnya.
Kontaminasi bakteria dapat menyebabkan penyakit yang dibawa makanan (food borne illness) termasuk botulism yang membahayakan kehidupan.
Pengawet pangan adalah upaya untuk mencegah, menghambat pertumbuhan mikroba yang terdapat dalam pangan. Pengawetan dapat dilakukan dengan berbagai cara, yaitu penggunaan suhu rendah, suhu tinggi, iradiasi atau dengan penambahan bahan pengawet (BTP Pengawet). Produk-produk pangan dalam kemasan yang diproses dengan panas atau disebut sterilisasi komersil seperti kornet dalam kaleng atau susu steril dalam kemasan tetrapak tidak menggunakan bahan pengawet karena proses termal sudah cukup untuk memusnahkan mikroba pembusuk dan patogen.
Produk-produk ini akan awet lebih dari setahun meskipun disimpan pada suhu kamar. memang ada produk pangan dalam kemasan yang menggunakan bahan pengawet, misalnya sambal, selai dan jem dalam botol.
Kedua jenis produk ini setelah dibuka biasanya tidak segera habis, sehingga supaya awet terus pada suhu kamar maka produk ini membutuhkan bahan tambahan pangan pengawet.

Ciri-ciri Pangan Rusak

Pangan dinyatakan mengalami kerusakan jika telah terjadi perubahan-perubahan yang tidak dikehendaki dari sifatnya. kerusakan dapat terjadi karena kerusakan fisik, kimia atau enzimatis. Namun secara umum, kerusakan pangan disebabkan oleh berbagai faktor dimana salah satunya adalah tumbuhnya bakteri, kamir atau kapang pada pangan yang dapat merusak protein sehingga mengakibatkan bau busuk, dan juga dapat membentuk lendir, gas, busa, asam ataupun racun.

Tanda-tanda kerusakan yang dapat terjadi pada pangan :

1.

Buah-buahan dan sayuran.
Selama proses penanaman pemanenan, penyimpanan, dan pengangkutan ke pasar, buah dan sayuran berpeluang terkontaminasi bahan kimia pertanian seperti residu pestisida, antibiotik pertanian, pupuk dan bahan perangsang tumbuh. Karena itu sebelum diolah dan dikonsumsi, buah dan sayuran harus dicuci terlebih dahulu dengan air bersih.
Kerusakan yang sering terjadi adalah karena benturan fisik, serangan serangga dan serangan mikroorganisme. Buah dan sayuran yang rusak terlihat busuk, berubah warna dan rasa, serta berlendir.

buah busuk yang dihinggapi lalat
2.

Daging dan Hasil Olahannya.
Daging segar merupakan media yang ideal bagi pertumbuhan bakteri karena daging mengandung zat nutrien dan air dalam jumlah cukup serta pH sedang. Mikroba yang terdapat dalam tubuh atau daging hewan berasal dari lingkungan hidup seperti dari pakan atau air. Mikroba masuk ke dalam tubuh hewan melalui saluran pencernaan. Agar kita terhindar dari penyakit, mikroba patogen yang berkembang biak dalam potongan daging dimusnahkan terlebih dahulu.
Caranya tak lain sebelum dimakan, daging atau bahan pangan yang mengandung daging harus dimasak dengan sempurna. Jadi, daging mudah rusak karena kandungan nutrisi dan kadar airnya tinggi. Kerusakan daging ditandai dengan perubahan warna, bau, dan berlendir.

daging yang dihinggapi lalat
3.

Ikan dan Hasil Olahannya
Ikan dan kerang dapat menjadi media perantara bagi mikroba patogen (seperti Vibrio) dan parasit (seperti cacing pipih) yang dapat menginfeksi manusia. Bibit penyakit ini berasal dari lingkungan alami ikan, terutama lingkungan air yang terkontaminasi oleh kotoran penderita penyakit kolera.
Bakteri Vibrio tidak menyebabkan diare tetapi mengakibatkan terjadinya infeksi di saluran pencernaan yang bersifat parah dan bisa mengancam nyawa.
Untuk memperkecil resiko terkena penyakit, ikan yang dimakan mentah atau setengah matang harus dicuci bersih-bersih. Kerusakan pada ikan ditandai dengan terjadinya perubahan warna, bau, tekstur dan terbentuknya lendir. Bakteri yang menyebabkan kerusakan ikan dipengaruhi oleh suhu penyimpanan ikan.

ikan yang dikerubuti lalat
4.
Susu dan Hasil Olahannya.
Susu yang diperah secara higienis dari hewan yang sehat sebetulnya mengandung kontaminan mikroba dalam jumlah yang rendah. Namun dalam perjalanan menuju tempat pengolahan lanjutan, susu mudah tercemar mikroba. Selama proses pengolahanpun ancaman kontaminasi bakteri tetap ada, terutama bila peralatan yang digunakan tidak steril. Kerusakan pada susu ditandai dengan pembentukan gas, penggumpalan, lendir, tengik, dan perubahan rasa. Penggumpalan dan pembentukan lendir pada susu disebabkan oleh bakteri dan juga terbentuknya asam pada susu.
5.

Makanan Kalengan.
Kerusakan makanan kalengan akibat bakteri menjadikan makanan berbau busuk dan berwarna hitam.

makanan kaleng yang penyok

Bagaimana mencegah pangan agar tidak rusak

1. Gunakan bahan baku yang baik.
2. Bersihkan semua alat sebelum digunakan.
3. Cuci tangan sebelum dan sesudah bekerja.
4. Masaklah pangan secara seksama dan sempurna untuk membunuh mikroorganisme yang ada di dalamnya.
5. Simpanlah pangan di tempat yang sesuai.

Selain dengan cara seperti di atas, untuk menghindari/mencegah serta menghambat pertumbuhan bakteri dalam pangan agar lrbih tahan lama dilakukan proses pengawetan pada pangan

Salah satu dari beberapa teknik pengawetan pangan adalah memberikan bahan tambahan pangan (BTP) untuk pengawetan, hal ini dilakukan dengan menambahkan suatu bahan kimia tertentu dengan jumlah tertentu yang diketahui memiliki efek mengawetkan dan aman untuk dikonsumsi manusia. Jenis dan jumlah pengawet yang diijinkan untuk digunakan telah dikaji keamanannya.

BTP digunakan dalam pangan setidaknya mempunyai lima alasan utama, yaitu:

1.

Untuk mempertahankan konsistensi produk.
Emulsifier memberikan tekstur produk berbentuk emulsi atau suspensi yang konsisten dan mencegah pemisahan fasa air dengan fasa lemak suatu emulsi atau pemisahan fasa cair dan fasa padat suatu suspensi. Penstabil dan pengental menghasilkan tekstur yang lembut dan homogen pada pangan tertentu.

2.

Untuk meningkatkan atau mempertahankan nilai gizi.
Vitamin dan mineral yang ditambahkan ke dalam pangan seperti susu, tepung, serelia lain dan margarin untuk memperbaiki kekurangan zat tersebut dalam diet seseorang atau mengganti kehilangannya selama proses pengolahan pangan. Fortifikasi dan pengayaan pangan semacam ini telah membantu mengurangi malnutrisi dalam populasi masyarakat Amerika. Semua pangan yang mengandung nutrien yang ditambahkan harus diberi label yang sesuai dengan ketentuan yang berlaku secara internasional atau sesuai ketentuan masing-masing negara.

3.

Untuk mempertahankan kelezatan dan kesehatan (wholesomeness) pangan.
Pengawet menahan kerusakan pangan yang disebabkan oleh kapang, bakteria, fungi atau khamir. Kontaminasi bakteria dapat menyebabkan penyakit yang dibawa makanan (food born illness) termasuk botulism yang membahayakan kehidupan.
Antioksidan adalah pengawet yang mencegah terjadinya bau yang tidak sedap. Antioksidan juga mencegah potongan buah segar seperti apel menjadi coklat bila terkena udara.

4.

Mengembangkan atau mengatur keasaman/kebasaan pangan.
Bahan pengembang yang melepaskan asam bila dipanaskan bereaksi dengan baking soda membantu mengembangkan kue, biskuit dan roti selama proses pemanggangan. Pengatur keasaman/kebasaan membantu memodifiksi keasaman/kebasaan pangan agar diperoleh bau, rasa dan warna yang sesuai.

5.
Untuk menguatkan rasa atau mendapatkan warna yang diinginkan.
Berbagai jenis bumbu dan penguat rasa sintetik atau alami memperkuat rasa pangan. Sebaliknya warna memperindah tampilan pangan tertentu untuk memenuhi ekspektasi konsumen.

Tujuan penggunaan bahan tambahan pangan pengawet

Pengawetan pangan disamping berarti penyimpanan juga memiliki 2 (dua) maksud yaitu
(1) menghambat pembusukan dan
(2) menjamin mutu awal pangan agar tetap terjaga selama mungkin.

Penggunaan pengawet dalam produk pangan dalam prakteknya berperan sebagai antimikroba atau antioksidan atau keduanya. Jamur, bakteri dan enzim selain penyebab pembusukan pangan juga dapat menyebabkan orang menjadi sakit, untuk itu perlu dihambat pertumbuhan maupun aktivitasnya.

Jadi, selain tujuan di atas, juga untuk memelihara kesegaran dan mencegah kerusakan makanan atau bahan makanan. Beberapa pengawet yang termasuk antioksidan berfungsi mencegah makanan menjadi tengik yang disebabkan oleh perubahan kimiawi dalam makanan tersebut.
Peran sebagai antioksidan akan mencegah produk pangan dari ketengikan, pencoklatan, dan perkembangan noda hitam. Antioksidan menekan reaksi yang terjadi saat pangan menyatu dengan oksigen, adanya sinar, panas, dan beberapa logam.

Siapa yang boleh menggunakan bahan tambahan pangan pengawet?

Bahan tambahan Pangan Pengawet boleh digunakan oleh perusahaan-perusahaan yang memproduksi pangan yang mudah rusak. Pencantuman label pada produk pangan sesuai dengan Peraturan Pemerintah No.69 tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan.
Label pangan adalah setiap keterangan mengenai pangan yang berbentuk gambar, tulisan, kombinasi keduanya, atau bentuk lain yang disertakan pada pangan, dimasukkan ke dalam, ditempelkan pada, atau merupakan bagian kemasan pangan.
Label pangan sekurang-kurangnya memuat :
- Nama produk
- Berat bersih atau isi bersih
- Nama dan alamat pabrik yang memproduksi atau memasukkan pangan ke wilayah Indonesia.

Pengawet makanan yang diijinkan

Pengawet yang diijinkan digunakan untuk pangan tercantum dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor : 722/Menkes/Per/IX/88 Tentang Bahan Tambahan Makanan, mencakup :

1. Asam Benzoat
2. Asam Propionat
3. Asam Sorbat
4. Belerang Oksida
5. Etil p-Hidroksida Benzoat
6. Kalium Benzoat
7. Kalium Bisulfit
8. Kalium Meta Bisulfit
9. Kalium Nitrat
10. Kalium Nitrit
11. Kalium Propionat
12. Kalium Sorbat
13. Kalium Sulfit
14. Kalsium benzoat
15. Kalsium Propionat
16. Kalsium Sorbat
17. Natrium Benzoat
18. Metil-p-hidroksi Benzoat
19. Natrium Bisulfit
20. Natrium Metabisulfit
21. Natrium Nitrat
22. Natrium Nitrit
23. Natrium Propionat
24. Natrium Sulfit
25. Nisin
26. Propil-p-hidroksi Benzoat

Penambahan bahan pengawet pada produk pangan menjadi bahan perhatian utama mengingat perkembangan iptek pangan menyangkut hal tersebut yang begitu cepat serta sering menimbulkan teka-teki bagi konsumen menyangkut keamanannya.

Garam atau NaCl
Telah berabad lampau digunakan hingga saat ini sebagai bahan pengawet terutama untuk daging dan ikan. Larutan garam yang masuk ke dalam jaringan dan mengikat air bebasnya, sehingga menghambat pertumbuhan dan aktivitas bakteri penyebab pembusukan, kapang, dan khamir.
Produk pangan hasil pengawetan dengan garam dapat memiliki daya simpan beberapa minggu hingga bulan dibandingkan produk segarnya yang hanya tahan disimpan selama beberapa jam atau hari pada kondisi lingkungan luar.
Ikan pindang, ikan asin, telur asin dan sebagainya merupakan contoh produk pangan yang diawetkan dengan garam.

Gula atau sukrosa
Gula atau sukrosa merupakan karbohidrat berasa manis yang sering pula digunakan sebagai bahan pengawet khususnya komoditas yang telah mengalami perlakuan panas. Perendaman dalam larutan gula secara bertahap pada konsentrasi yang semakin tinggi merupakan salah satu cara pengawetan pangan dengan gula. Gula seperti halnya garam juga menghambat pertumbuhan dan aktivitas bakteri penyebab pembusukan, kapang, dan khamir.
Dendeng, manisan basah dan atau buah kering merupakan contoh produk awet yang banyak dijual di pasaran bebas.

Cuka buah atau vinegar
Merupakan salah satu bahan yang dapat digunakan untuk mengawetkan daging, asyuran maupun buah-buahan. Acar timun, acar bawang putih, acar kubis (kimchee) merupakan produk pangan yang diawetkan dengan penambahan asam atau cuka buah atau vinegar.
Data pengaturan bahan pengawet dari Codex Alimetarius Commission (CAC), USA (CFR), Australia dan New Zealand (FSANZ) tercatat 58 jenis bahan pengawet yang dapat digunakan dalam produk pangan. Indonesia melalui Peraturan Menteri Kesehatan No. 722 tahun 1988 telah mengatur sebanyak 26 jenis bahan pengawet.

Jenis Pengawet yang Dilarang

Sebagai contoh, penggunaan formalin yang sering digunakan untuk mengawetkan Tahu, Mie Basah dapat menyebabkan :
- Kanker paru-paru
- Gangguan pada jantung
- Gangguan pada alat pencernaan
- Gangguan pada ginjal, dll.

Penggunaan Boraks atau Pijer dapat menyebabkan :
- Gangguan pada kulit
- Gangguan pada otak
- Gangguan pada hati, dll

bakso dan boraks

Sehubungan denga teka-teki yang muncul menyangkut keamanan penggunaan bahan pengawet dalam produk pangan, maka Tabel 1 berikut disajikan kajian keamanan beberapa pengawet yang banyak digunakan oleh industri pangan.

Tabel1. Pengaruh beberapa bahan pengawet terhadap kesehatan

Bahan Pengawet
Produk Pangan
Pengaruh terhadap Kesehatan
Ca-benzoat Sari buah, minuman ringan, minuman anggur manis,
ikan asin
Dapat menyebabkan reaksi merugikan pada asmatis dan yang peka terhadap aspirin
Sulfur dioksida
(SO2)
Sari buah, cider, buah kering, kacang kering, sirup, acar Dapat menyebabkan pelukaan lambung, mempercepat serangan asma, mutasi genetik, kanker dan
alergi
K-nitrit Daging kornet, daging kering, daging asin, pikel daging Nitrit dapat mempengaruhi kemampuan sel darah untuk membawa oksigen, menyebabkan kesulitan bernafas dan sakit kepala, anemia, radang ginjal,
muntah
Ca- / Na-propionat Produk roti dan tepung Migrain, kelelahan, kesulitan tidur
Na-metasulfat Produk roti dan tepung Alergi kulit
Asam sorbat Produk jeruk, keju, pikel dan salad Pelukaan kulit
Natamysin Produk daging dan keju Dapat menyebabkan mual, muntah, tidak nafsu makan, diare dan pelukaan kulit
K-asetat Makanan asam Merusak fungsi ginjal
BHA Daging babi segar dan sosisnya, minyak sayur, shortening, kripik kentang, pizza beku, instant teas Menyebabkan penyakit hati dan kanker.

Hal-hal yang Perlu Diperhatikan

Mencermati kemungkinan gangguan kesehatan seperti yang tercantum dalam Tabel 1, maka FDA mensyaratkan kepada produsen pangan untuk membuktikan bahwa pengawet yang digunakan aman bagi konsumen dengan mempertimbangkan :
- Kemungkinan jumlah paparan bahan pengawet pada konsumen sebagai akibat mengkonsumsi
produk pangan yang bersangkutan.
- Pengaruh komulatif bahan pengawet dalam diet.
- Potensi toksisitas (termasuk penyebab kanker) bahan pengawet ketika tertelan oleh manusia atau
binatang.

Namun demikian perlu diperhatikan hal-hal penting dalam menggunakan bahan tambahan pangan pengawet adalah :
- Pilih pengawet yang benar/yang diijinkan untuk dalam pangan serta telah terdaftar di Badan POM
RI.
- Bacalah takaran penggunaannya pada penandaan/label.
- Gunakan dengan takaran yang benar sesuai petunjuk pada label.
- Membaca dengan cermat label produk pangan yang dipilih/dibeli serta mengkonsumsinya secara
cerdas produk pangan yang menggunakan bahan pengawet.

Contoh BTP Pengawet lengkap dengan penandaan dan takaran penggunaannya.



UNDERSTANDING AUTISM

Forward

This document is copyrighted © 2003 by Bryan Jepson MD, PC. Dr. Jepson developed this
document as the basis for the treatment offered by the Children’s Biomedical Center of Utah.
The information protocol contained in this document is based on Dr. Jepson’s effort to compile
information available from varied credible sources on the topic of Autism and reports published
by the Autism Research Institute and the Defeat Autism Now! (DAN!) Association as well as
personal experience in treating autistic children.

Disclaimer

This document is not a recommendation for diagnosis or treatment of Autism Spectrum Disorder
independent of the supervision of a qualified physician. The intent of this document is to inform
and provide treatment options to those families attending the Children’s Biomedical Center of
Utah.

Acknowledgements

Dr. Jepson acknowledges the work and materials published by the Autism Research Institute and
the many physicians and researchers who have collaborated within the DAN! Association.
Particular thanks are given to Dr. Amy Holmes for her advice and counsel during the initial
establishment of the Children’s Biomedical Center of Utah.

I. INTRODUCTION
Autism Spectrum Disorder (ASD) is a group of diseases that is characterized by a delay in
language development, impairment of social interaction, and the use of restrictive, stereotyped
behavior patterns. It was first described in 1944, but great strides in research and understanding
of the disorder have been made only recently. It was initially felt to be a fairly rare illness (less
than 5 in 10,000) but over the last twenty years there has been an explosive increase in incidence,
growing on average around 25% per year and up to 100% per year in some areas. In the United
States, it is currently believed to affect 1 out of every 250 individuals on average (up to 1 in 150
in some areas) with a 4 to 1 male predominance. Thanks to the dedication of many researchers,
physicians and parents, we are rapidly learning much more about the biochemistry and origins of
this illness. Concurrently, many treatments are being developed and are in use across the
country with promising results. Many children who are receiving these treatments are
improving, some to the point of total or, at least, functional recovery. It must be accepted,
however, that the clinical research behind these treatments is in the early stages and as time goes
on and our understanding is improved, the treatment protocols are likely to be modified. The
treatment protocol that your child will be receiving is currently recognized as consensus among a
group of physicians who refer to themselves as DAN! (Defeat Autism Now!) practitioners and
has been implemented in thousands of children without significant danger or adverse effects.
The DAN! movement arose out of an organization called the Autism Research Institute, which
has been in the forefront of autism research for the last 40 years. The DAN! philosophy is that
we can no longer afford to wait for all of the research to be completed and mainstreamed before
we start trying things that have biological plausibility, are safe and may help. We understand the
motivation of parents to do all that they can to help their own children with autism. In fact,
many of us are parents of autistic children ourselves. Our goal is to help as many children as
possible by aggressive early intervention.

We believe that autism is caused when a child with the appropriate genetic susceptibility is
exposed to a number of environmental insults resulting in a complex series of interactions in
several body systems, primarily the central nervous system (brain), the gastrointestinal system
(the gut), and the immunological system (body defense). Understanding the biomedical model
of autism requires recognizing that your child’s body functions as a unit and that treatment
requires an integrated approach. Treatments are based on priorities and should progress in a
fairly logical and step-wise fashion. I will try to explain things with sufficient detail to help you
understand the reasoning behind the intervention but without requiring you to have a degree in
biochemistry. Try not to be overwhelmed by the amount of information contained in this packet.
It is intended for reference. You certainly will not be asked to begin these treatments all at once
or continue them all indefinitely. This is merely an explanation of the currently available
treatments and the reasoning behind them. Remember that each child with autism is a unique
individual and has unique biochemistry that has somehow become disordered. Our job is to help
you find which treatments are most effective for your child. The treatments can be time
consuming, expensive and may require a dramatic change in lifestyle but I believe you will find
that it is all worth it when you see the strides that your child is making!

II. GENETIC SUSCEPTIBILITY
A. Metallothionein dysfunction
This hypothesis was proposed by William Walsh, PhD, who heads the Pfeiffer
Research Center in Illinois. He took extensive biochemical analyses of over 500
autistic patients that are treated at his clinic and discovered that almost universally,
these children have abnormal copper/zinc ratios with high body copper and low body
zinc. Extrapolating backwards, he discovered that the body’s control mechanism for
copper and zinc is a function of a family of proteins called metallothionein (MT).
Other functions of MT in the body include development of brain neurons,
detoxification of heavy metals, maturation of the GI tract, anti-oxidation, boosting
immune function and delivery of zinc to cells. MT dysfunction would result, then, in
many of the issues that we see with autistic children such as the leaky gut syndrome,
incomplete breakdown of casein/gluten protein by zinc dependent enzymes, disrupted
ability to combat yeast, reduced production of stomach acid and impaired stimulation
of the pancreas by secretin. It would also lead to inability to clear the body of heavy
metals, a disordered immune system and ultimately to the neurological changes seen
in autism. It would also explain the male sex predominance (4:1) seen in autism
because MT synthesis is enhanced by estrogen and progesterone. MT dysfunction
could be caused by a genetic MT defect, a genetic disorder that disables MT, or an
environmental insult that disables MT. Theoretically, if we could find a way to detect
the MT abnormality early on, autism could be prevented through avoiding environmental insults and supplementing with MT promotional agents (zinc,
glutathione, N-acetyl cysteine, selenium, pyridoxal-5-phosphate, vitamins A,C,D,E,
others.)

B. Other genetic factors
Much research is currently being done in an effort to discover the genetic basis of
autism. It is beyond the scope of this document to describe in detail the genetic
research in this area. As yet, no single gene has been isolated as the culprit and in
fact, autism, with its wide spectrum of presentations and severity is unlikely to be
caused by a single gene defect. Clearly, autism and autism-related illnesses tends to
have a higher incidence in some families. There is also an increased incidence of
other auto-immune diseases such as rheumatoid arthritis, diabetes and inflammatory
bowel disease in the families of autistic children. I think that this indicates an
underlying weakness in the immune system in these families. However, the overall
rate of rise in the incidence of autism cannot be completely explained by genetics
alone. Autism has risen over 1000% in the last 20 years which is not possible if
genetic mutation is the only cause. There must be an environmental component that
is inducing these susceptible children to become autistic.

III. ENVIRONMENTAL INSULTS
I have included below several environmental factors that I believe are playing a role in the rising
incidence of autism. It is important to note that it is unlikely that any of these factors cause
autism in isolation. I believe that it is a combination of these factors and probably many others
that is creating a toxic overload in these children who have abnormal metabolism probably based
on their genetic make-up. The worse their genetics, the fewer environmental insults it will take
to induce the abnormalities and the severity of their deficits will likely be worse and evident at
an earlier age. It is interesting to note that the regressive forms of autism (where the children
seem to regress after a period of normal development) is rising at a much higher rate than the
classic forms of autism which are evident from birth. This makes sense to me since these
children are those whom I believe have less severe deficits genetically and so the rise in
environmental exposure is starting the autism cascade, where 20 years ago, they may have
avoided it.
A. Mercury Toxicity
In April 2000, Sally Bernard, a parent of an autistic child, and several other
investigators published an article suggesting that autism is a form of mercury
poisoning. They meticulously compared signs and symptoms of mercury poisoning
with those of autism and found that there is striking similarity in almost every aspect.
They cited examples of other historically-significant disease epidemics as evidence of
autism-like illnesses created by environmental exposure to mercury. These diseases
also presented with large range of variability and susceptibility among individuals in
the population and were eradicated when the source of the exposure was eliminated.
These illnesses are acrodynia or Pink’s disease (teething powders), Mad Hatter’s disease (occupational exposure) and Minamata’s disease (consumption of
contaminated fish.)
Physiologically, mercury has been shown to have many harmful effects. It can bind
to sulfhydryl groups on many proteins resulting in decreased enzyme function and
loss of structural integrity. This may be contributing to or causing a “leaky gut” by
damaging intestinal lining (mucosa). Mercury can impair cell-mediated immunity
resulting in decreased ability to clear viral and yeast infections. It induces
autoimmunity (the body attacks itself) resulting in the production of anti-brain
antibodies. It can cause or worsen zinc deficiency and inactivate DPPIV (the enzyme
that breaks down casein and gluten.) It alters the brain’s ability to clear unwanted
brain cells or neurons (apoptosis), a process that is a normal and integral part of brain
development. It affects the body’s anti-oxidation ability by depleting intracellular
glutathione (a protein important in clearing toxins from the body.) The clinical effect
on the CNS includes impaired motor planning, decreased facial recognition, blurred
vision and constricted visual fields, insomnia, irritability, tantrums, excitability, social
withdrawal, anxiety, difficulty verbalizing, altered taste, impaired short-term
memory, slowed reaction time and difficulty with concentration. It has been shown
to be the most toxic to infants and males. So how are our kids being poisoned by mercury? Mercury is not uncommon in our
environment. Fish in our diet and dental amalgams in our mouths are common
sources, but by far the largest exposure to our infants are from vaccinations!
Thimerosal is a preservative that is included in many vaccines to prevent bacterial
contamination and thus, prolonging shelf-life and facilitating multi-use vials. It
consists of approximately 50% ethylmercury. As noted above, mercury can be highly
toxic, even in small doses. Some infants receive up to 100 times the EPA
recommended safe level of oral exposure to mercury based on adult weights, in one
day. Injecting it into their muscle also bypasses one of the main first-line defense
mechanisms, the GI tract. We now begin immunizing newborns with hepatitis B
vaccines as early as the day of birth. It doesn’t seem like much of a stretch in logic to
think that these infants’ immune systems and neurological systems are too immature
to handle such a toxic load. Fact is, most children seem to be able to tolerate it just
fine, but we believe that many children, who are genetically predisposed, are being
adversely affected. Several databases have reported an alarming increase in the
incidence of autism in the last 20-year period (over 1000% increase was reported in
California.) It is also interesting to note that in that same period, the number of
immunizations that a child receives before the age of two has increased from 8 in
1980 up to 33 in the year 2001, and more are being developed. When the Hepatitis B
and the HIB vaccine were added to the schedule in the early 1990s the load of
mercury to our children more than doubled. Largely as a result of the effort of many
DAN!-affiliated practioners and parents in 1998, the FDA has required that vaccine
manufactures remove thimerosal from their vaccines, but fell short of demanding a
recall of the existing thimerosal-containing product. This remains a hotly debated
issue among the medical and parent community. The Institute of Medicine convened in 2001 to research this issue in more detail and concluded that there is not enough
evidence currently to prove or disprove the association between vaccines and autism
but conceded that there is biological plausibility for the interaction. They called for
more research into this issue.
Thimerosal has also been present in other commercial products such as contact lens
solution (removed in 1998), eardrops and various nasal preparations. It is interesting
that thimerosal was taken out of animal vaccines a decade ago because it was felt to
be unsafe. There is ample evidence that manufacturers of vaccines new about the
dangers of thimerosal as early as 30 years ago.

B. Heavy viral antigen loading
Mercury may not be the only way that vaccines may be harming some children. A
British researcher, Andy Wakefield, has studied the relationship between autism and
enterocolitis (an inflammatory bowel disorder). As will be discussed later, the
majority of children with autism have some abnormalities of their gastrointestinal
functioning. He did colonoscopies on a group of autistic children with
gastrointestinal problems and found a significant degree of lymph node hyperplasia
(enlargement) in the mucosa of the ileum (the last portion of the small bowel). On
biopsy, he discovered that these nodules were full of vaccine-strain measles virus. He
hypothesizes that the combination MMR vaccine overloads the autistic immune system with too extensive of a viral load at one time. These children are unable to
clear the virus resulting in a chronic sub-clinical infection. These initial findings have
recently been replicated in other labs. Others have found evidence of measles virus in
the cerebral spinal fluid of autistic children at rates that are significantly higher than
normal children. It may be that combination vaccinations such as the MMR and the
DPaT may also overstimulate these children’s immune systems. Many autistic
children show a hyperactive response when vaccine titers (especially measles) are
tested. Whether this reaction to viruses is a cause or merely a reflection of the
underlying immune system abnormalities is uncertain. Many epidemiological studies
have been done that have looked at this connection without finding an association.
However, these types of studies are unable to answer the question conclusively
because they cannot limit the variables that may be involved. Clinical research on
autistic children themselves is much more likely to resolve this issue. It certainly is
plausible that the MMR and exposure to other viruses (including native infections)
can be contributing to the severity of their symptoms but it is unlikely to be the sole
causative factor.

Among the problems with the autistic child’s immune system is an imbalance
between the TH1 (responsible for viral and fungal infections) and the TH2
(responsible for antibody formation and allergies) subtype lymphocytes. Autistic
children are shifted towards TH2 and away from TH1 making them less able to
defend against and rid their system of viral and fungal infections. This shift also
makes them more likely to form antibodies (resulting in multiple allergies) and
autoimmune reactions. These persistent infections and antigens result in chronic
inflammation that can lead to increased gut permeability and abnormal bowel flora.
Many autistic children also have recurrent and prolonged viral infections (upper
respiratory infections, gastroenteritis, bronchitis, etc.)

C. Antibiotic overuse
The over-prescription of antibiotics is a problem not isolated to autism and has led to
the emergence of many antibiotic-resistant organisms that have become very difficult
to eradicate. Autistic children have a particular problem with this because of the
above discussion about their low TH1 lymphocyte activity. Antibiotics are generally
broad-spectrum, meaning they wipe out all the bacteria that they come in contact
with. Our bodies harbor a microscopic ecosystem of bacteria and fungi, some
beneficial and some harmful. When we take an antibiotic, it clears our system of both
kinds, good and bad, and provides the harmful resistant organisms an opportunity to
take over. This is referred to as intestinal dysbiosis. Because autistic children have
depressed TH1 function, they have less ability to clear these harmful organisms and
to restore the normal balance of intestinal flora. This can result in yeast overgrowth
and persistent bacterial and parasitic infections of their gut. These organisms can
interfere with normal digestion and can emit harmful metabolites (break-down
products) that can affect autistic behavior.

D. Other infections

Because of their diminished immune function and poor nutritional status, many
autistic children are prone to other infections such as recurrent ear infections, reactive
airway disease, eczema and sinusitis. This certainly exacerbates the problem with
antibiotic overuse, as described above, since much of the time, antibiotics are
prescribed to treat these illnesses. At times, other children, who seem to be
developing normally, seem to regress after a more serious infection and develop
symptoms of autism. This suggests that this infection may have been the triggering
event that started their autistic biomedical cascade.

IV. BIOMEDICAL DYSFUNCTIONS OF AUTISM
A. Poor nutrition/vitamin and mineral deficiencies
Autistic children are known to be very picky eaters. For reasons that we will discuss
as part of the casein/gluten diet section, they tend to crave carbohydrates and become
addicted to certain foods, and thus, narrowly self-limit their diet. This diet typically
does not provide them with the essential vitamins and minerals that they need for
healthy body functioning. Couple this with the fact that they have abnormal
gastrointestinal systems that prevent absorption and proper utilization of the nutrients
that are taken in. And, as mentioned in previous discussions, their body’s system to
regulate these essential nutrients is dysfunctional. For all of these reasons, children
with autism almost universally are deficient in certain vitamins and minerals. These
nutrients act as anti-oxidants and cofactors for many enzymatic pathways and are
needed in the development of healthy gastrointestinal, immunological and
neurological systems. They are also critical in detoxification. Common mineral
deficiencies include zinc, selenium, magnesium, molybdenum, manganese, vanadium
and chromium. They are deficient in vitamin C, vitamin B6 (pyridoxine or pyridoxal-
5-phospahte), vitamin B12, vitamin A, vitamin E, folate and niacin.

B. The Leaky Gut Syndrome
As mentioned earlier, autistic children have abnormal gastrointestinal systems. The
reasons for this are varied but include abnormal mucosal barriers from dysfunctional
intestinal metallothionein, depleted sulfate which prevents normal healing of the
mucosal layer, chronic inflammation from persistent viral infections and autoimmune
reactions, injury to the mucosa from abnormal bowel flora and abnormal pancreatic
digestive function. This leads to incomplete breakdown of proteins resulting in
partially undigested chains of amino acids called peptides, which are usually several
amino acids in length. These peptides, which would normally be broken down
further or passed through the stool, are absorbed through the damaged and overly-
porous mucosal lining. It has been shown that the peptides that most often are at fault
are from casein (milk) and gluten (wheat, barley, oats, rye). These children have
diminished functioning of an enzyme called DDPIV that is responsible for breaking
down these particular peptides. The peptides are absorbed through the intestinal tract
into the blood stream and from there are carried to the various body tissues including
the brain. These peptides have basically the same structure of a group of hormones
called opiates. There are opiate receptors throughout the body but a particularly high
concentration exists in the brain. When activated they cause euphoria and decreased
pain response. These are the same receptors that bind opioid-like drugs including
morphine and heroin. It is hypothesized that the gluten and casein proteins are
binding to these receptors and effectively causing an opioid intoxication. That may
be why these autistic children seem to crave foods rich in gluten and casein. They
frequently will have severe tantrums when these foods are first eliminated or become
unavailable. They are potentially going through an opiate withdrawal that often
results in and is relieved by binging on these foods. All they know is that eating these
foods seem to make them feel much better, which in turn causes them to limit their
diet to these specific foods. Unfortunately, chronic opioid toxicity affects learning,
social interaction and motor/sensory neurological function. Most autistic children
have also shown to have an abnormal immune system response to gluten, casein and
soy.

other? you can call me : heri_stm@yahoo.com

Pengawet Makanan

Saat ini banyak sekali jenis pengawet makanan yang digunakan pada produk-produk yang kita konsumsi setiap hari. Bagaimanakan caranya agar kita dapat memilih makanan yang aman dari pengaruh berbahaya bahan pengawet?

Jadilah Konsumen Cerdas

Jangan sampai lengah saat membeli bahan makanan. Sebaiknya perhatikan hal-hal berikut ini:

- Teliti komposisi gizi apa saja yang terkandung dalam bahan pangan yang tercantum pada labelnya.

- Amati apakah makanan tersebut berwarna mencolok atau jauh berbeda dari warna aslinya. Snack, kerupuk, mi, atau es krim berwarna terlalu mencolok kemungkinan ditambahi zat pewarna. Demikian juga dengan daging sapi olahan yang warnanya semerah daging segarnya.

- Coba cicipi. Biasanya, lidah kita cukup jeli membedakan yang aman dan tidak. Makanan yang tidak aman umumnya berasa tajam, sangat gurih, dan membuat lidah "tersengat".

- Perhatikan juga kualitas makanan, apakah masih segar, atau malah sudah berjamur yang bisa menyebabkan keracunan.

- Baui aromanya. Bau apek atau tengik pertanda makanan tersebut sudah rusak atau terkontaminasi mikroorganisme.

- Ingat, kriteria "aman" itu bervariasi. Aman buat satu orang belum tentu aman buat yang lainnya. Bisa saja pada orang tertentu bahan pengawet ini mungkin menimbulkan reaksi alergi.

- Perhatikan, apakah maknan tersebut telah terdaftar di BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan) dan Dinas Kesehatan yang bisa dilihat dari label kemasannya.

Perlu Diwaspadai

Ada produk yang sengaja ditambahkan formalin sebagai pengawetnya. Untuk memastikan kandungan formalin, perlu uji laboratorium. Tapi, secara umum, ciri khas makanan berformalin yaitu tidak akan dikerumuni lalat, ditambah dengan ciri-ciri sebagai berikut:

- Tahu: bentuk bagus, kenyal, tak mudah hancur, awet, dan tak mudah busuk

- Mi basah: Warnanya menyala dan mengilat. Awet dan tak mudah basi.

- Ayam potong: warnanya putih bersih, awet, dan tidak mudah busuk.

- Ikan basah: kulitnya putih bersih, kenyal, insangnya merah tua, bukan merah segar, awet dan tak mudah busuk.

- Ikan asin: tidak rusak sampai 1 bulan jika disimpan dalam suhu ruang, permukaan bersih dan cerah, dan tak berbau ikan asin.

- Bakso: bentuknya bagus, terasa kenyal saat digigit. Permukaannya mulus, bagian dalam daging kesat dan garing.

Pengawet Alami

Sebetulnya, makanan bisa tahan lama tanpa pengawet, asalkan...

Diberi garam

Pengawet alami ini sudah dipakai sejak berabad-abad lalu. Larutan garam diyakini mampu menghambat pertumbuhan aktivitas bakteri pembusuk.

Disimpan di suhu rendah

Penyimpanan di bawah suhu nol derajat Celsius bisa memperlambat reaksi metabolisme dan mencegah perkembangbiakan mikroorganisme yang bisa merusak makanan.

Dikeringkan

Makin tinggi kadar air dalam makanan, makin cepat makanan tersebut rusak. Denagn dikeringkan, kadar air dalam makanan dapat diminimalkan dan mikroorganisme perusak tidak bisa berkembang biak.

Sindrom Asperger atau kelainan perkembangan syaraf otak

Sindrom Asperger atau Gangguan Asperger (SA) merupakan suatu gejala
kelainan perkembangan syaraf otak yang namanya diambil dari seorang
dokter berkebangsaan Austria, Hans Asperger, yang pada tahun 1944
menerbitkan sebuah makalah yang menjelaskan mengenai pola perilaku dari
beberapa anak laki-laki memiliki tingkat intelegensi dan perkembangan
bahasa yang normal, namun juga memperlihatkan perilaku yang mirip
autisme, serta mengalami kekurangan dalam hubungan sosial dan kecakapan
komunikasi. Walaupun makalahnya itu telah dipublikasikan sejak tahun
1940-an, namun Sindrom Asperger baru dimasukkan ke dalam katergori DSM
IV pada tahun 1994 dan baru beberapa tahun terakhir Sindrom Asperger
tersebut dikenal oleh para ahli dan orang tua.


Seseorang penyandang SA dapat memperlihatkan bermacam-macam karakter dan
gangguan tersebut. Seseorang penyandang SA dapat memperlihatkan
kekurangan dalam bersosialisasi, mengalami kesulitan jika terjadi
perubahan, dan selalu melakukan hal-hal yang sama berulang ulang. Sering
mereka terobsesi oleh rutinitas dan menyibukkan diri dengan sesuatu
aktivitas yang menarik perhatian mereka. Mereka selalu mengalami
kesulitan dalam membaca aba-aba (bahasa tubuh) dan seringkali seseorang
penyandang SA mengalami kesulitan dalam menentukan dengan baik posisi
badan dalam ruang (orientasi ruang dan bentuk).


Karena memiliki perasaan terlalu sensitif yang berlebihan terhadap
suara, rasa, penciuman dan penglihatan, mereka lebih menyukai pakaian
yang lembut, makanan tertentu dan merasa terganggu oleh suatu keributan
atau penerangan lampu yang mana orang normal tidak dapat mendengar atau
melihatnya. Penting untuk diperhatikan bahwa penyandang SA memandang
dunia dengan cara yang berlainan. Sebab itu, banyak perilaku yang aneh
dan luar biasa yang disebabkan oleh perbedaan neurobiologi tersebut,
bukan karena sengaja berlaku kasar atau berlaku tidak sopan, dan yang
lebih penting lagi, adalah bukan dikarenakan 'hasil didikan orang tua
yang tidak benar'.


Menurut definisi, penyandang SA mempunyai IQ.normal dan banyak dari
mereka (walaupun tidak semua) memperlihatkan pengecualian dalam
keterampilan atau bakat di bidang tertentu. Karena mereka memiliki
fungsionalitas tingkat tinggi serta bersifat naif, maka mereka dianggap
eksentrik, aneh dan mudah dijadikan bahan untuk ejekan dan sering
dipaksa temanya untuk berbuat sesuatu yang tidak senonoh. Walaupun
perkembangan bahasa mereka kelihatannya normal, namun penyandang SA
sering tidak pragmatis dan prosodi. Perbendaharaan kata-kata mereka
kadang sangat kaya dan beberapa anak sering dianggap sebagai 'profesor
kecil'. Namun mereka dapat menguasai literatur tapi sulit menggunakan
bahasa dalam konteks sosial.


Sifat-sifat dalam belajar dan berperilaku pada murid penyandang Asperger
antara lain:

1. Sindrom Asperger merupakan suatu sifat khusus yang ditandai
dengan kelemahan kualitatif dalam berinteraksi sosial.
Sesorang penyandang Sindrom Asperger (SA) dapat bergaul
dengan orang lain, namun dia tidak mempunyai keahlian
berkomunikasi dan mereka akan mendekati orang lain dengan
cara yang ganjil (Klin & Volkmar, 1997). Mereka sering tidak
mengerti akan kebiasaan sosial yang ada dan secara sosial
akan tampak aneh, sulit ber-empati, dan salah
menginterpretasikan gerakan-gerakan. Pengidap SA sulit dalam
berlajar bersosialisasi serta memerlukan suatu instruksi
yang jelas untuk dapat bersosialisasi.

2. Walaupun anak-anak penyandang SA biasanya berbicara lancar
saat mencapai usia lima tahun, namun mereka sering mempunyai
masalah dalam menggunakan bahasa dalam konteks sosial (
pragmatik ) dan tidak mampu mengenali sebuah kata yang
memiliki arti yang berbeda-beda (semantic) serta khas dalam
berbicara /prosodi (tinggi rendahnya suara, serta tekanan
dalam berbicara) (Attwood, 1998). Murid penyandang SA bisa
jadi memiliki perbendaharaan kata-kata yang lebih, dan
sering tak henti-hentinya berbicara mengenai suatu subyek
yang ia sukai. Topik pembicaraan sering dijelaskan secara
sempit dan orang itu mengalami kesulitan untuk berpindah ke
topik lain. Mereka dapat merasa sulit berbicara teratur.
penyandang SA dapat memotong pembicaraan orang lain atau
membicarakan ulang pembicaraan orang lain, atau memberikan
komentar yang tidak relevan serta mengalami kesulitan dalam
memulai dan mengakhiri suatu pembicaraan. Cara berbicaranya
kurang bervariasi dalam hal tinggi rendahnya suara, tekanan
dan irama, dan, bila murid tersebut telah mencapai usia
lebih dewasa, cara berbicaranya sering terlalu formal.
Kesulitan dalam berkomunikasi sosial dapat terlihat dari
cara berdiri yang terlalu dekat dengan orang lain, memandang
lama, postur tubuh yang tidak normal, dan tak dapat memahami
gerakan-gerakan dan ekspresi wajah.


3. Murid penyandang SA memiliki kemampuan intelegensi normal
sampai di atas rata-rata, dan terlihat berkemampuan tinggi.
Kebanyakan dari mereka cakap dalam memperdalam ilmu
pengetahuan dan sangat menguasai subyek yang mereka sukai
pernah pelajari. Namun mereka lemah dalam hal pengertian dan
pemikiran abstrak, juga dalam pengenalan sosial. Sebagai
akibatnya, mereka mengalami kesulitan akademis, khususnya
dalam kemampuan membaca dan mengerti apa yang dibaca,
menyelesaikan masalah, kecakapan berorganisasi, pengembangan
konsep, membuat kesimpulan dan menilai. Ditambah pula,
mereka sering kesulitan untuk bersikap lebih fleksibel.
Pemikiran mereka cenderung lebih kaku. Mereka juga sering
kesulitan dalam menyesuaikan diri dengan perubahan, atau
menerima kegagalan yang dialaminya, serta tidak siap belajar
dari kesalahan-kesalahanya. (Attwood 1998).

4. Diperkirakan bahwa 50% - 90% dari penyandang SA mempunyai
kesulitan dalam koordinasi motoriknya (Attwood 1998).
Motorik yang terkena dalam hal melakukan gerakan yang
berpindah-pindah (locomotion), kecakapan bermain bola,
keseimbangan, cakap menggerakan sesuatu dengan tangan,
menulis dengan tangan, gerak cepat, persendian lemah, irama
serta daya mengikuti gerakan-gerakan.

5. Seorang penyandang SA memiliki kesamaan sifat dengan
penyandang autisme yaitu dalam menanggapi rangsangan
sensori. Mereka bisa menjadi hiper sensitif terhadap
beberapa rangsangan tertentu dan akan terikat pada suatu
perilaku yang tidak biasa dalam memperoleh suatu rangsangan
sensori yang khusus.

6. Seorang penyandang SA biasanya kelihatan seperti tidak
memperhatikan lawan bicara, mudah terganggu konsentrasinya
dan dapat / pernah dikategorikan sebagai penyandang ADHD
(Attention Deficit Hyperactivity Disorder) sewaktu
di-diagnosa dalam masa kehidupan mereka (Myles & Simpson, 1998).

7. Rasa takut yang berlebihan juga merupakan salah satu sifat
yang dihubungkan dengan penyandang SA. Mereka akan sulit
belajar menyesuaikan diri dengan tuntutan bersosialisasi di
sekolah. Instruksi yang baik dan benar akan membantu
meringankan tekanan-tekanan yang dialaminya.

Yogurt

Jangan sepelekan produk-produk yang terbuat dari susu ketika Anda tengah menjalani program diet. Setidaknya itulah saran para peneliti yang telah menemukan bahwa dengan menambah yogurt sebagai makanan rendah kalori akan dapat membantu menghilangkan lemak perut.
Kesimpulan ini disampaikan peneliti dari Universitas Tennessee Michael Zemel, PhD yang meneliti sekitar 34 obesitas pada program diet rendah kalori. 16 dari mereka mengkonsumsi pill yang mengandung 400 hingga 500 mg kalsium per hari. 18 orang lainnnya mengkonsumsi kalsium tinggi diantaranya yogurt yang mengandung 1100 mg kalsium per hari.
Setelah 12 minggu penelitian ditemukan lemak perut mereka menyusut. Perbandingan dari kedua kelompok, yaitu kelompok pertama kehilangan kurang dari enam pound dan kelompok kedua yang mengkonsumsi yogurt hilang sebanyak 10 pound lemak.
Yogurt bukan saja membantu menghilangkan lemak perut sehingga menurunkan berat badan tapi juga yogurt menjaga berat otot dua kali lipat lebih efektif.
Dalam penelitian Zemel sebelumnya juga menujukan kalsium terutama yang berasal dari kalsium produk susu dapat memperlambat proses terjadinya lemak tubuh sehingga disarankan bagi mereka yang tengah menjalankan program diet untuk mengkonsumsi tiga kali produk susu rendah lemak atau bebas lemak setiap hari.

Monday, November 17, 2008

NARUTO

NARUTO (NARUTO—ナルト—, Naruto? romanized as NARUTO in Japan) is an ongoing Japanese manga series written and illustrated by Masashi Kishimoto with an anime adaptation. The plot tells the story of Naruto Uzumaki, a loud, hyperactive, unpredictable, adolescent ninja who constantly searches for recognition and aspires to become a Hokage, the ninja in his village that is acknowledged as the leader and the strongest of all. The series is based on a one-shot that Kishimoto first authored in the August 1997 issue of Akamaru Jump.

The manga was first published by Shueisha in 1999 in the 43rd issue of Japan's Weekly Shōnen Jump magazine and it is still being released with forty-four volumes. The manga would be later adapted into an anime produced by Studio Pierrot and Aniplex. It premiered across Japan on the terrestrial TV Tokyo network and the anime satellite television network Animax on October 3, 2002. The first series lasted nine seasons, while Naruto: Shippūden, a sequel of the series, began its first on February 15, 2007 and is still airing.

Viz Media has licensed the manga and anime for North American production. The Naruto anime debuted in the United States on Cartoon Network's Toonami programming block on September 10, 2005, and in Canada on YTV's Bionix on September 16, 2005. Naruto began showing in the United Kingdom on Jetix on July 22, 2006. It began showing on Toasted TV on January 12, 2007, in Australia, which features the Manga Entertainment TV version and the German-language dub opening, although it could be watched on Cartoon Network in 2006.

Serialized in Viz's Shonen Jump magazine, Naruto has become one of the company's best-selling manga series. As of volume 36, the manga has sold over 71 million copies in Japan.

Plot

Naruto Uzumaki is a young boy who has the Nine-Tailed Demon Fox sealed within him. Twelve years before the start of the series, the fox attacked the ninja village Konohagakure, slaughtering many people. As such, the leader of Konohagakure – the Fourth Hokage – sacrificed his own life to seal the demon inside Naruto when he was a newborn. Konohagakure, however, regarded Naruto as if he were the demon fox itself and mistreated him throughout most of his childhood. A decree made by the Third Hokage forbade anyone mention the attack of the demon fox to anyone although Naruto soon realized about this. Years later, Naruto graduated from the Ninja Academy by using his Shadow Clone Technique, a technique from a forbidden scroll that he was tricked into stealing, to save his teacher, Iruka Umino, from the renegade ninja Mizuki. That encounter gave Naruto two insights: that he was the container of the demon fox, and that there was someone besides the Third Hokage who actually cared for and acknowledged him.

The main story follows Naruto and his friends' personal growth and development as ninja, and emphasizes their interactions with each other and the influence of their backgrounds on their personalities. Naruto finds two friends and comrades in Sasuke Uchiha and Sakura Haruno, two fellow young ninja who are assigned with him to form a three-person team under an experienced sensei named Kakashi Hatake. Naruto also confides in other characters that he meets throughout the series as well. They learn new abilities, get to know each other and other villagers better, and experience a coming-of-age journey as Naruto dreams of becoming the Hokage of Konohagakure. Throughout all of the Naruto plot, strong emphasis on character development changes the plot, with very few things happening because of chance. At first, emphasis is placed on Naruto, Sasuke, and Sakura, who are the members of Team 7. Later, Orochimaru, a criminal at the top of Konoha's most wanted list, attacks Konoha killing the Third Hokage as an act of revenge. He also desires to acquire Sasuke Uchiha due to his powerful genetic heritage. Believing Orochimaru will be able to give him the strength needed to kill his brother Itachi, who destroyed all his clan, he goes to him. Naruto does not give up on Sasuke, leaving Konoha for two-and-a-half years of training to prepare himself for the next time he meets Sasuke. After the training period, a mysterious organization called Akatsuki attempts to capture the nine powerful tailed beasts including the Nine-Tailed Demon Fox that is sealed inside of Naruto. Several ninjas from Konoha, including Team 7, fight against the Akatsuki members as well as Team 7 search for their teammate Sasuke.

Characters
The main characters of Team 7 (counterclockwise, from left): Sasuke Uchiha, Sakura Haruno, Naruto Uzumaki, and team leader, Kakashi Hatake

Naruto has a large number of characters, in which most of them are distinguished for being ninjas. They initially study at the Ninja Academy, where the story begins, are split up into squads of three after their graduation and become Genin, rookie ninja. Each squad is assigned an experienced sensei.[1] These core squads form a basis for the characters' interactions later in the series, where characters are chosen for missions for their team's strength and complementary skills; Naruto's squad 7 becomes the social frame where Naruto is acquainted with Sasuke, Sakura, and their sensei Kakashi, forming the core of his world-in-the-making.[2] The other three-man teams of his former classmates form another such layer, as Naruto connects with them to various degrees, learning of their motives, vulnerabilities, and aspirations, often relating them to his own. The groups of three are not limited to the comrades Naruto's age – groups in the story in general come in threes and multiples of three with very few exceptions.

Sensei-student relationships play a significant role in the series; Naruto has a number of mentors with whom he trains and learns, most notably Iruka, the first ninja to recognize Naruto's existence, Kakashi, his team leader, and Jiraiya, and there are often running threads of tradition and tutelage binding together several generations. These role models provide guidance for their students not only in the ninja arts but also in a number of Japanese aesthetics and philosophical ideals. Techniques, ideals, and mentalities noticeably run in families, Naruto often being exposed to the abilities and traditions of generation-old clans in his village when friends from his own age group demonstrate them, or even achieve improvements of their own; it is poignantly noted that Naruto's generation is particularly talented.

Production

Kishimoto first authored a one-shot of Naruto in the August 1997 issue of Akamaru Jump.[3][4] The original Naruto had a significant theming on friendship and trust. At the beginning of the story, neither Naruto or Kuroda trusted anyone, but by the end both befriended and trusted each other. Despite its high results in the reader poll after getting released, Kishimoto thought "[the] art stinks and the story's a mess!" Kishimoto also revealed that he was originally working on Karakuri for the Hop Step Award when, unsatisfied by the rough drafts, he decided to work on something different instead, which later formed into Naruto. When an interviewer asked Kishimoto if he had any message for his Anglophone audience, Kishimoto said "I feel sometimes that Naruto is too Japanese, with all the chakra and hand signs, but as you read it you'll find that it's fun."[5]

When originally creating the Naruto story, Kishimoto looked to other shōnen manga as influences for his work, although he attempted to make his characters as unique as possible.[6] The separation of the characters into different teams was intended to give each group a specific flavor. Kishimoto wished for each member to be "extreme," having a high amount of aptitude in one given attribute yet be talentless in another."[7] The insertion of villains into the story was largely to have them act as a counterpoint to the characters' moral values. Kishimoto has admitted that this focus on illustrating the difference in values is central to his creation of villains to the point that, "I don't really think about them in combat."[8]

When drawing the characters, Kishimoto follows a five-step process that he consistently follows: concept and rough sketch, drafting, inking, shading, and coloring. These steps are followed when he is drawing the actual manga and making the color illustrations that commonly adorn the cover of tankōbon, the cover of Weekly Shōnen Jump, or other media, but the toolkit he utilizes occasionally changes.[9] For instance, he utilized an airbrush for one illustration for a Weekly Shōnen Jump cover, but decided not to use it for future drawings largely due to the cleanup required.[10]

Kishimoto added that, as Naruto takes place in a "Japanese fantasy world," the creator has to "set certain rules, in a systematic way" so that he could easily "convey the story." Kishimoto wanted to "draw on" the Chinese zodiac tradition, which had a long-standing presence in Japan; the zodiac hand signs originate from this. When Kishimoto was creating the setting of the Naruto manga, he initially concentrated on the designs for village of Konohagakure, the primary setting of the series. Kishimoto asserts that his design for Konohagakure was created "pretty spontaneously without much thought", but admits that the scenery is based on his home in the Okayama prefecture in Japan. Without a specific time period, Kishimoto included modern elements in the series such as convenience stores, but specifically excluded projectile weapons and vehicles from the storyline. For reference materials, Kishimoto performs his own research into Japanese culture and alludes to it in his work.[11] Regarding technology Kishimoto said that Naruto would not have any firearms. He said he may include automobiles, aircraft, and "low-processing" computers; Kishimoto specified the computers would "maybe" be eight-bit and that they would "definitely not" be sixteen-bit.[12] He has also stated that he has a visual idea of the last chapter of the series, including the text and the story. However, he notes that it may take a long time to end the series since "there are still so many things that need to be resolved".[13]

Media

Manga
Naruto premiered in Shueisha's Weekly Shōnen Jump magazine in 1999.[14][15] The first 238 chapters are known as Part I, and constitute the first part of the Naruto storyline. Manga chapters 239 to 244 comprise a gaiden series focusing on the background of the character Kakashi Hatake. All subsequent chapters belong to Part II, which continues the storyline in Part I after a two and a half year time jump. The English adaptation of the Naruto manga is licensed by Viz and serialized in Viz's version of Shonen Jump.[14] In order to compensate for the gap between the Japanese and English adaptations of the manga, Viz announced its "Naruto Nation" campaign, where it would release three volumes a month in the last four months of 2007 in order to close said gap.[16] Cammie Allen, Viz Media's product manager, commented that, "Our main reason [for the accelerated schedule] was to catch up to the Japanese release schedule to give our readers a similar experience to that of our readers in Japan."[16]

As of May 2008, 42 tankōbon have been released by Shueisha in Japan, with the first twenty-seven tankōbon containing Part I, and the remaining fifteen belonging to Part II. The first tankōbon was released on March 3, 2000,[17] with the forty-fourth released on November 4, 2008.[18] In addition, four tankōbon, each containing ani-manga based one of the first four Naruto movies, have been released by Shueisha.[19][20][21][22] Viz has released 30 volumes of the English adaptation of the manga.[23] In addition, Viz Media released all twenty-seven volumes in a boxed set, thus constituting the entirety of the Naruto storyline before Part II on November 13, 2007.[24]

Anime series

Naruto

Directed by Hayato Date and produced by Studio Pierrot and TV Tokyo, the Naruto anime adaptation premiered in Japan on TV Tokyo October 3, 2002, and ran for 220 episodes until its conclusion on February 8, 2007.[25][26] The first 135 episodes are adapted from the first twenty-seven volumes of the manga, while the remaining eighty episodes are filler episodes that utilize plot elements not seen in the original manga.[27]

Viz has licensed the anime series for broadcast and distribution in the Region 1 market.[25] The English adaptation of the anime began airing on September 10, 2005.[28] The episodes have been shown on Cartoon Network's Toonami, YTV's Bionix and Jetix UK's programming blocks.[25] In the American broadcast, references to alcohol, Japanese culture, sexual innuendo, and even blood and death were sometimes reduced for the broadcast, but left in the DVD editions.[29] Other networks make additional content edits apart from the edits done by Cartoon Network, such as Jetix's more strict censoring of blood, language, smoking and the like. The series has also been licensed to the websites Hulu and Joost to air them online in Japanese with English subtitles.[30][31]

Naruto: Shippūden

Naruto: Shippūden (ナルト 疾風伝, Naruto: Shippūden? lit. Naruto: Hurricane Chronicles) is the ongoing sequel to the original Naruto anime and covers the Naruto manga from volume twenty-eight on. After training for two and a half years with Jiraiya, Naruto returns to Konohagakure, reunites with the friends he left behind, and reforms Team 7, now called Team Kakashi, with Sai replacing Sasuke. All of Naruto's classmates have matured and improved in the ranks, some more than others. Unlike the original series where they only played a minor role, the Akatsuki organization takes on the main antagonistic role in their attempts at world domination.

The TV adaptation of Naruto: Shippūden made its debut in Japan on February 15, 2007 on TV Tokyo, and in the Philippines on January 28, 2008 on ABS-CBN. ABS-CBN is the first international TV network (i.e. TV network outside Japan) to broadcast Naruto: Shippūden. ABS-CBN has initially aired the first 40 episodes of Naruto: Shippūden until March 19, 2008 since it is still airing in Japan.[32] VIZ Media has announced that on January 15th, 2009 they will begin to release english-subtitled episodes of Naruto: Shippūden on naruto.com. They will be uploading both archived and current episodes simultaniously, releasing the newest episodes within days of the initial Japanese broadcast. [33]

Soundtracks
Naruto Original Soundtrack, released in Japan on April 3, 2003

All of the music for the Naruto soundtracks were composed and arranged by Toshio Masuda.[34] The first, called Naruto Original Soundtrack, was released on April 3, 2003 and contained twenty-two tracks that appeared during the first season of the anime.[35] The second, called Naruto Original Soundtrack II was released on March 18, 2004 and contained nineteen tracks.[36] The third, called Naruto Original Soundtrack III was released on April 27, 2005 and contained twenty-three tracks.[37]

A series of two soundtracks containing all the opening and ending themes of the series, titled Naruto: Best Hit Collection and Naruto: Best Hit Collection II were released on November 17, 2004 and August 2, 2006, respectively.[38][39] Of all tracks of the series, eight were selected and released as a CD called Naruto in Rock -The Very Best Hit Collection Instrumental Version- that was released on December 19, 2007.[40] Each of the three movies of the first anime series has a soundtrack that was released near its release date.[41][42][43] Various Drama CD series have also been released in which the voice actors play original episodes.[44]

The soundtracks of Naruto: Shippūden have been produced by Yasuharu Takanashi.[45] The first, titled Naruto Shippūden the Movie: Original Soundtrack was released on August 1, 2007[46] and Naruto Shippūden Original Soundtrack was released on December 9, 2007.[47] Naruto All Stars was released on July 23, 2008. This soundtrack consisted of ten original Naruto songs remixed and sung by characters from the series.[48]

OVAs

There are a total of four Naruto original video animations (OVAs). The first two, Find the Crimson Four-Leaf Clover! and Mission: Protect the Waterfall Village!, were aired at the Shōnen Jump Jump Festa 2003 and Jump Festa 2004, respectively, and were later released on DVD.[49][50] The English localization of the second OVA was released on DVD by Viz on May 22, 2007.[51] The third OVA, Finally a clash! Jonin VS Genin!! Indiscriminate grand melee tournament meeting!!, was released on a bonus disc with the Japanese edition of the Naruto: Ultimate Ninja 3 video game for the PlayStation 2.[52] The fourth OVA, Konoha Annual Sports Festival, is a short video released with the first Naruto movie.[53] There is also a special feature included with the seventh Naruto: Shippūden compilation DVD based on the second ending of the series called Hurricane! "Konoha Academy" Chronicles.[54]

Movies

The first series has also spawned three movies. Ninja Clash in the Land of Snow was released on August 21, 2004 in Japan and on DVD on April 28, 2005. It tells how Team 7 is dispatched to the Land of Snow to protect the actors during the shooting of the new Princess Fuun movie, to whom Naruto became a fan. As a bonus, the short and non-canonical OVA Konoha Annual Sports Festival was included with the Japanese release of the film.[55] It premiered on September 6, 2007 in the United States.[56][57]

Legend of the Stone of Gelel was released in theaters in Japan on August 6, 2005. The film involves Naruto, Shikamaru and Sakura during a ninja mission in which they are involved in a war between the Sunagakure village and a large number of armored warriors.[58] Unlike its predecessor, Legend of the Stone of Gelel did not see a theatrical release in the United States, and was direct-to-video instead. It aired on Cartoon Network on July 26, 2008 and then was released to DVD July 29, 2008.[59]

Guardians of the Crescent Moon Kingdom was originally released on August 5, 2006. It shows how Naruto, Sakura, Lee, and Kakashi are assigned to protect the future prince of the Land of Moon, Hikaru Tsuki.[60] The English dub of the movie aired on Cartoon Network on November 11, 2008 and then was released to DVD November 11, 2008.[61][62]

The series sequel has so far two films: one film called Naruto: Shippūden the Movie was released on August 4, 2007. It tells that Naruto is assigned to protect the priest Shion who starts having visions of his death.[63] The second one Bonds was released on August 2, 2008. In the film, ninja from the Sky Country attack Konoha and to stop them, Naruto and Sasuke join forces although the latter has already left two years ago.[64]

Novels

Two Naruto novels, written by Masatoshi Kusakabe, published in Japan by Shueisha and released in English in North America by Viz Media. The first, Naruto: Innocent Heart, Demonic Blood is based on the first arc of the series and was released on December 16, 2002 in Japan and November 21, 2006 in North America.[65][66] The second novel Naruto: Mission: Protect the Waterfall Village!, based in the 2nd OVA of the anime, was published on December 15, 2003 in Japan and October 16, 2007 in the United States.[67][68]

Video games

Naruto video games have appeared on various consoles from Nintendo, Sony, Microsoft, and Bandai. The very first Naruto video game was Naruto: Konoha Ninpouchou, which was released in Japan on March 27, 2003, for the WonderSwan Color. Most Naruto video games have been released only in Japan. It wasn't until March 7, 2006, when the first game of the Naruto: Gekitou Ninja Taisen series and Naruto: Saikyou Ninja Daikesshu series were released in North America under the titles of Naruto: Clash of Ninja and Naruto: Ninja Council that any Naruto games were officially available outside of Japan.[69][70] These games featured the voices from the English dubbed version of the anime. Recently, two new Naruto games for Nintendo DS and Wii have been revealed at the Tokyo Game Show. Also, the fifth installment to the Narutimate Hero series has been announced. There was also a new Naruto game released for the Xbox 360, Rise of a Ninja and a completely different one for the Playstation 3 is being developed by CyberConnect2 and Namco for release in 2008. It was originally known as Naruto: PS3 Project, but it has received the official title of Naruto: Ultimate Ninja Storm.

Trading card game
Art and guidebooks

Several supplementary books of the Naruto series have been released. An artbook named The Art of Naruto: Uzumaki contains illustration of Part I manga and was released in both Japan and the United States.[71] For the Part II manga, an artbook called PAINT JUMP: Art of Naruto was released by Shueisha on April 4, 2008.[72] A series of guidebooks for the Part I called First Official Data Book (秘伝・臨の書キャラクターオフィシャルデータBOOK, Hiden: Rin no Sho Character Official Data Book?)[73] and Second Official Data Book (秘伝・闘の書キャラクターオフィシャルデータBOOK, Hiden: Tō no Sho Character Official Data Book?)[74] were released only in Japan. These books contain character profiles, Jutsu guides and drafts made by Kishimoto. For the anime, a series of guidebook called Naruto anime profiles were also released. These books contain information about the production of the anime episodes and explanation of the characters designs.[75]

Reception

As of volume 36, the manga has sold over 71 million copies in Japan.[76] The Naruto manga series has become one of Viz's top properties,[77] accounting for nearly 10% of all manga sales in 2006.[78] The seventh volume of Viz's release became the first manga to ever win a Quill Award when it claimed the award for "Best Graphic Novel" in 2006.[78] The manga also appeared in the USA Today Booklist with volume 11 holding the title of the highest ranked manga series on the list, until it was surpassed by volume 28, which claimed the 17th rank in its first week of release in March 2008.[79][80][81] Volume 28 also had one of the biggest debut weeks of any manga in years and is currently the top selling manga title of 2008.[82] During its release, volume 29 ranked #57, while the volume 28 had dropped to #139.[83] In April 2007, volume 14 earned Viz the "Manga Trade Paperback of the Year" Gem Award from Diamond Comic Distributors.[84]

The series has received praise and criticism by several reviewers. A. E. Sparrow from IGN noted how some manga volumes focus only in certain characters to the point the number of fans increases. He also praised the way that Kishimoto manages to make a good combinations of fighting scenes, comedy and good artwork.[85] Carl Kimlinger from Anime Network praised the designs of the series characters, since every one shows their unique way of acting and appearance. He also noted how even "goofiest looking character" can act "damm cool" when he fights. However, he noted that since in some volumes there are several fights, the plot is not able to be developed although he praised how each of them were emotional.[86] The start of Part II has been praised in another review by Casey Brienza. She noted how good were the characters developed as they had new appearances and abilites. She also praises the balance between plot and action scenes allowing the readers the enjoy the volume. However, she noted that it is not frequent that all the volumes have the same quality.[87]

The Naruto anime adaptation won the "Best Full-Length Animation Program Award" in the Third UStv Awards held in the University of Santo Tomas in Manila, Philippines.[88] In TV Asahi's latest top 100 Anime Ranking, Naruto ranked 17th on the list.[89] The first of the DVD compilations containing thirteen episodes, released by Viz. was nominated at the American Anime Awards for best package design.[90]

Reviewers noted that the primary focus of the series was on the fighting since they consider that the fight scenes are more dedicated than backgrounds.[91] Active Anime praised the fights to each of them exciting since the characters also had important reasons to win as well as the comedy that sometimes occur within them, although they still were deadly.[92] The series has also been criticized for dragging the fights, but they also noted that most of them break the "stereotypical shōnen concepts."[93] Some critics panned the Battle at Hidden Falls OVA, as being a throw back to the earliest episodes of the main Naruto series. Anime News Network's reviewer called it a poor addition to the Naruto franchise that didn't "do the series justice" but may make viewers gain new appreciation for how far the series has progressed since its earliest episodes.[94]